Hendri Kampai: Bertani Itu Merugi! Jeritan Petani yang Terabaikan

    Hendri Kampai: Bertani Itu Merugi! Jeritan Petani yang Terabaikan

    PERTANIAN - Masalah yang dihadapi oleh petani Indonesia sudah lama menjadi jeritan sunyi di tengah gemuruh pembangunan. Pupuk yang mahal,  bibit yang sulit dijangkau,  serangan hama yang tak kenal kompromi,  irigasi yang lebih sering jadi mimpi daripada realita,  jalan pertanian yang bagai medan perang, hingga harga gabah yang membuat petani lebih banyak mengeluh daripada tersenyum—inilah paradoks yang terus membelenggu.

    Berbicara tentang pupuk, petani seringkali menghadapi dilema akut: harga pupuk yang meroket sering kali tidak sebanding dengan subsidi yang dijanjikan. Bibit unggul? Jangan salah, itu seringkali hanya ‘unggul’ di atas kertas.

    Kenyataannya, petani banyak yang harus berjuang dengan bibit yang tidak sesuai janji, tidak tahan hama, atau malah gagal panen. Hama menjadi ancaman yang lebih pintar dari solusi pemerintah, seringnya datang tanpa diantisipasi, sementara para petani hanya mengandalkan sisa-sisa daya juang mereka.

    Kemudian, kita bicara irigasi—elemen esensial dalam pertanian. Tapi realitanya, banyak daerah sawah yang masih mengandalkan air hujan karena sistem irigasi yang tak kunjung diperbaiki.

    Di tambah lagi jalan pertanian, yang lebih sering membuat traktor dan kendaraan pengangkut hasil tani terjebak lumpur, bukannya membawa hasil panen ke pasar dengan cepat. 

    Harga gabah pun menjadi klimaks dari segala drama: rendahnya nilai jual dibandingkan ongkos produksi membuat bertani jadi pekerjaan yang tak menarik bagi generasi muda. Siapa yang mau menjadi petani jika jerih payahnya tidak memberikan hasil yang layak?

    Masalah ini bukan sekadar masalah teknis, tapi juga menyentuh struktur ekonomi, sosial, dan politik. Pemerintah seringkali terlalu sibuk dengan retorika swasembada pangan tanpa menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. 

    Mengapa bertani dianggap rugi? Karena sistemnya memang tidak mendukung. Tak ada insentif nyata untuk regenerasi petani. Sementara itu, anak muda lebih memilih menjadi buruh kota daripada mewarisi sawah orang tua mereka yang tidak menjanjikan masa depan.

    Jika Indonesia serius ingin mencapai swasembada pangan dan menjadikan profesi petani sebagai pekerjaan yang bermartabat, harus ada langkah nyata, sistematis, dan terintegrasi. Pemerintah perlu:

    1. Menyediakan pupuk dan bibit dengan harga terjangkau serta kualitas terjamin. Ini bukan sekadar subsidi, tapi reformasi distribusi agar tepat sasaran.

    2. Mengembangkan teknologi pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan dan efektif. Bantu petani memahami dan mengakses teknologi ini.

    3. Membangun irigasi yang berkelanjutan, sehingga ketergantungan pada hujan bisa dikurangi.

    4. Memperbaiki infrastruktur jalan pertanian yang selama ini hanya jadi prioritas saat musim kampanye.

    5. Menyusun kebijakan harga gabah yang adil, termasuk menjamin stabilitas harga dengan skema proteksi pasar bagi petani.

    Poin-poin ini tidak hanya akan mengangkat kesejahteraan petani, tetapi juga membuat pertanian lebih menarik bagi generasi muda.

    Karena pada akhirnya, pertanian bukan sekadar soal mengolah tanah dan menanam padi—ini tentang keberlanjutan bangsa, tentang kedaulatan pangan, tentang membangun masa depan.

    Jika bertani terus dianggap rugi, Indonesia tidak hanya kehilangan petani, tetapi juga masa depan pangan dan keamanannya.

    Jakarta, 27 November 2024
    Hendri Kampai
    Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

    hendri kampai bertani
    Updates.

    Updates.

    Artikel Sebelumnya

    Hendri Kampai: Jangan Mengaku Jurnalis Jika...

    Artikel Berikutnya

    Polri Tegas, Pelaku Penembakan Polisi di...

    Berita terkait