OPINI - Dalam dunia politik, kontestasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses demokrasi. Setiap individu atau kelompok yang memutuskan untuk ikut serta dalam kompetisi politik, harus memahami satu hal mendasar: ada yang menang dan ada yang kalah. Namun, sering kali kita melihat fenomena yang kurang sehat pasca kekalahan, di mana sebagian pihak yang kalah justru bersikap baper (bawa perasaan) atau menunjukkan sikap emosional yang berlebihan.
Sebetulnya, kekalahan dalam politik bukanlah akhir dari segalanya. Justru, kekalahan bisa menjadi pelajaran berharga untuk memperbaiki strategi, memperdalam komitmen, dan menegaskan kembali tujuan perjuangan. Sikap baper setelah kalah hanya menunjukkan ketidakmatangan dalam menerima kenyataan dan menempatkan ego di atas kepentingan rakyat. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, kontestasi seharusnya dijalani dengan jiwa besar dan kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan semata-mata alat pemuas ambisi pribadi.
Bagi seorang politisi yang tangguh, kalah adalah peluang untuk bangkit. Ini adalah momen untuk merenung, melihat ke belakang, dan mengevaluasi apa yang salah. Apakah strategi yang kurang efektif? Apakah pesan kampanye tidak sampai kepada masyarakat? Atau mungkin, ada isu-isu yang lebih penting yang gagal ditangkap? Semua ini adalah bahan introspeksi yang bisa memperkuat diri untuk pertarungan berikutnya.
Namun, jika respons terhadap kekalahan hanya berupa kekecewaan emosional yang berlarut-larut, lalu menyalahkan pihak lain atau bahkan sistem, ini justru menandakan ketidakdewasaan. Sikap seperti ini juga bisa merusak citra diri di mata publik dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap seorang politisi. Oleh karena itu, sangat penting bagi mereka yang terjun ke politik untuk menanamkan mentalitas sportif dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Kehidupan politik penuh dengan dinamika, dan para kontestan harus siap menghadapi kenyataan bahwa tidak selamanya mereka akan menang. Yang terpenting adalah, bagaimana mereka merespons kekalahan dengan sikap yang konstruktif dan tetap berfokus pada tujuan utama: mengabdi untuk masyarakat dan bangsa.
Jakarta, 21 Oktober 2024
Baca juga:
Menteri Agama Disebut Seperti Buzzer?
|
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional/JNI