PEMERINTAHAN - Ketika Pemerintah mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, respons masyarakat mencerminkan kekecewaan yang mendalam. Langkah ini dianggap oleh banyak pihak sebagai keputusan yang terburu-buru dan minim empati terhadap kondisi rakyat yang tengah berjuang bangkit dari dampak pandemi. Namun, ada satu sudut pandang lain yang memicu diskusi lebih luas: apakah kenaikan ini mencerminkan kemacetan berpikir dari seorang Menteri Keuangan yang dibebani oleh utang besar dari rezim sebelumnya?
Mari kita urai narasi ini dalam bahasa sederhana, tapi tajam.
Baca juga:
Bupati Asahan Buka Rakorpem Bulan Oktober
|
Narasi Utang dan Beban Fiskal
Menteri Keuangan saat ini, terlepas dari rekam jejaknya yang mengesankan di tingkat internasional, menghadapi tantangan yang tak main-main: beban utang yang melonjak drastis di era Presiden Joko Widodo. Kebijakan pembangunan infrastruktur masif, yang bertujuan menghubungkan pulau-pulau di Indonesia, memang memberikan dampak positif dalam jangka panjang. Namun, dari sisi fiskal, utang yang menggunung ini menjadi bom waktu yang harus segera ditangani.
Di sinilah kenaikan PPN dianggap sebagai solusi cepat untuk menambah pendapatan negara. Namun, apakah ini solusi yang benar-benar strategis, atau hanya langkah pragmatis yang mencerminkan kemacetan berpikir?
PPN: Pajak yang Membebani Semua Lapisan
PPN adalah pajak yang dikenakan atas barang dan jasa, sehingga dampaknya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Ketika tarif PPN naik, harga kebutuhan pokok, jasa, dan barang lainnya otomatis melonjak. Bagi masyarakat kelas atas, kenaikan ini mungkin tidak terlalu terasa, tetapi bagi masyarakat kecil, hal ini adalah pukulan berat.
Kebijakan ini kemudian memunculkan pertanyaan mendasar: apakah pemerintah benar-benar memahami prioritas rakyat? Apakah tidak ada cara lain untuk menambah pendapatan negara tanpa harus mengorbankan daya beli masyarakat yang sudah menurun?
Alternatif yang Terabaikan
Sebenarnya, ada banyak alternatif kebijakan fiskal yang lebih strategis. Misalnya, pemerintah bisa meningkatkan pajak terhadap sektor yang selama ini memberikan keuntungan besar tetapi kontribusinya terhadap pajak masih rendah, seperti sektor digital atau pertambangan. Selain itu, efisiensi belanja negara, termasuk pengurangan anggaran yang tidak produktif, bisa menjadi jalan keluar tanpa harus membebani masyarakat.
Namun, tampaknya pilihan-pilihan ini tidak menjadi prioritas. Menteri Keuangan lebih memilih jalan yang mudah: menaikkan PPN. Apakah ini karena tekanan utang yang begitu besar sehingga ruang berpikir strategis menjadi sempit?
Baca juga:
Bupati Asahan Terima Penghargaan Dari KPK RI
|
Narasi Politik di Balik Kebijakan
Kenaikan PPN ini juga tak bisa dilepaskan dari dinamika politik. Pemerintah harus menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia mampu membayar utangnya dan menjaga stabilitas ekonomi. Sayangnya, yang dikorbankan adalah kesejahteraan rakyat sendiri. Dalam konteks ini, kebijakan fiskal terlihat lebih seperti alat untuk mempertahankan citra politik daripada alat untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
Refleksi: Apa yang Bisa Dipelajari?
Kenaikan PPN menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Kebijakan fiskal tidak hanya soal angka, tetapi juga soal sensitivitas terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Pemerintah harus mampu berpikir di luar kebiasaan, mencari solusi kreatif untuk menyelesaikan masalah tanpa harus membebani rakyat kecil.
Sebagai penutup, kenaikan PPN menjadi 12% bukan hanya angka yang tercatat dalam undang-undang pajak, tetapi cermin dari bagaimana pemerintah melihat prioritasnya. Apakah rakyat adalah pusat kebijakan, atau hanya menjadi objek untuk menutupi kesalahan-kesalahan masa lalu? Mari kita renungkan bersama.
Jakarta, 22 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi